JOURNEY : Rayap Aspal


                        Just like the roads in front of me, this is where I belong. 



Ya. Saya harus pulang untuk satu dan lain hal.
dan Ya, saya ketinggalan kereta karena suasana kelas yang memanas sepertinya kurang tepat untuk ijin keluar cepat.
Jadilah malam itu malam jumat keramat, penuh dengan umpatan umpatan di kepala.
'Kenapa rumah begitu jauh?' pikirku.
'Tentu saja, karena aku memilih untuk meninggalkannya waktu umurku 17'. Jawabku sendiri; gila.

Pilihan terdekat adalah naik bis, karena janji yang kubuat hari senin, maka langsung pulang sekali jalan tak akan ada masalah.
Seingatku, itu bis yang bisa langsung turun Pamotan berangkat jam 3. Dan seingatku pula, keretaku tadi malam harusnya berangkat jam 9.30. Tapi kereta tadi berangkat jam 9.20, dan setelah sampai Pulogadung ternyata bis ke Pamotan berangkat jam 2.
Apa yang bisa diharapkan.

Si mas penjual tiket, langsung melambai dengan senyum melebar. Entah siapa yang mengijinkannya begitu, tapi mengingat mas Puji, tetangga, yang masih Masku, yang juga seorang supir pernah memaksa mas itu menjemputku waktu pertama kali ke Pulogadung, okelah. Tak ada salahnya bersikap baik. Maka kubiarkan saja dia menjabat tanganku erat.
Dalam sekejap, tanpa meminta, langsung kudapatkan tempat duduk favorit. Sebelah Jendela, sebelah kiri karena nanti aku bisa melihat laut.
Ditanya mau turun mana, kujawab apa adanya. Dan ternyata bisnya cuma sampe Lasem. Di diskon pula harganya.
Ternyata di belakangku, ada Bapak yang mendengar kalau aku turun Pamotan. ditanyailah, Pamotan mana, kenal si ini, dan si itu. Katanya rumahnya situ juga.
'Tetangga dong!' pikirku. Rupa rupanya Pamotan memang pabrik supir.
Sampailah kami pada nama Mas Puji, tetangga, yang masih masku, seorang supir, dan konon katanya mantan anak buah si Hercules, preman terkenal itu.
Terkejut aku waktu si Bapak langsung telpon Mas Puji.
'Ini siapa ngaku ngaku adekmu?'
dan emang iya tha? wah ni Bapak.
Tau - tau itu Bapak duduk di sebelahku, tempat duduk, sandaran kaki di tata agar aku merasa nyaman. Sekejap, takut. Kukira dia sama dengan om om supir yang kenalan PSKnya seabrek. Apa mukaku mirip salah satu diantara mereka ya? entahlah.
Percakapan kami mulai, dan aku langsung tau kalau dia sopir bis yang nanti kunaiki. Ditawarinya aku minum, katanya aku nanti ga perlu bayar kupon makan, makan sama dia saja. (Baru ingat, itu bagian percakapannya dengan mas Puji di telpon).
'Sudah lama nyupir pak?'
'Wah, sudah Mblenger Ndhuk, mau berhenti juga anak masih kecil - kecil'

Sepertinya semua masalah yang ada di kepala orang tiba tiba keluar ketika mereka di dekatku. Magis.
Dia tarik koran yang lagi kubaca. Sambil bergumam dia bilang hati - hati kalo di Pulo gadung, banyak copet. Banyak preman. Apa lagi aku, gadis sendirian, kurus pula.
Waktu penjual, pengemis, melewati kami, si Bapak menolak dengan tegas, seolah ingin memberi contoh; seperti inilah harusnya bersikap pada mereka.
Pikiranku kembali ketika pertama kali aku mudik tahun lalu. Mas Puji memesankan tiket, dan meminta orang menjemputku, memastikan aku selamat sampai atas bis, sampai duduk manis, tanpa ada yang menggodaku, tanpa ada yang berani macam - macam. Dan orang - orang disini sepertinya berpikiran sama.
Survival 101: Stay close to the strongest. Stay close to the locals.

Si Bapak meninggalkanku karena dia harus memberangkatkan bisnya.

Dengan alunan musik. Dunia berputar begitu cepat. dan tidak terasa.

Waktu makan tiba, dan tempat makannya sudah pernah kudatangi sebelumnya. Sepertinya PO bis ini punya kesepakatan dengan tempat makan tertentu.

Diajaknya aku ke ruang makan khusus supir. Baru tau aku kalau ada ruang seperti ini. Dan isinya : Penuh dengan supir.

Pembicaraan mereka tak jauh - jauh dari dapat berapa, penumpang komplain, dan keluarga.
kata Ibuku, supir bis masih bisa memberi perhatian pada keluarga, karena mereka bolak balik. Ga perlu berhari - hari di jalan, berminggu - minggu bahkan, seperti para supir truk Scania. Mereka harus jauh dari keluarga, dan istri. Dan tetap harus ada yang memenuhi kebutuhan seksual mereka. Seperti inilah para PSK pantura bertahan hidup. Mereka hanya mengisi kekosongan yang ada.
Ibuku tahu betul akan hal ini. Aku tahu betul akan hal ini.

Di ruang penuh supir itu,yang pertama kuperhatikan adalah yang mereka minum; Susu hangat, dan wedang tomat, atau campuran keduanya. Tentu saja mereka harus menjaga stamina, tapi tidak terpikir kalau mereka benar - benar menjaga stamina dengan menjaga asupan vitamin C, dari tomat? Smart.
Kemudian, kubaca tulisan ; Hati hati dijalan. Biaya supir masuk rumah sakit dan meninggal dunia mahal.

Tidak cukup menghibur. Kuhabiskan saja makananku.
Diantara percakapanku dengan dua orang supir di depanku, tentang pendidikan anak mereka tentunya, kulihat sekeliling.
Supir, jauh dari keluaga. bercengkrama, makan dengan lahapnya.
Bahasa mereka kasar sekali, tapi akrab. Umpatan muncul disana sini, tapi hangat.

Setelah momen ini, mereka harus kembali, menyusuri dinginnya jalan.
Layaknya seekor rayap, menggigiti aspal untuk bertahan hidup.

Comments

Popular Posts