JOURNEY : Stasiun 1
--love doesn't belong to a particular gender--
Mei, 2011.
Tepat setahun lalu, pikiranku tak tergambarkan gundahnya. Sudah semakin jenuh dengan keadaan di Semarang, dan ingin segera beranjak, tapi entah kemana. Aku mungkin saja berakhir di sweatshop atau mencuci piring di sebuah restoran, tapi waktu itu kugunakan seluruh tenagaku untuk menghindari kemungkinan kemungkinan yang terlihat begitu mungkin ini.
Ada beberapa hal mengenai proses mendapatkan pendidikanku yang sekarang, tapi biarlah itu kubagi di tulisan lain. Kali ini, suasa stasiun pasar senen yang akhir akhir ini berkelibat dalam pikiranku saja.
Hanya ada satu jadwal kereta ekonomi dari Semarang ke Jakarta, Tawang Jaya, berangkat pukul 7 malam, sampai Jakarta pukul 3.30, itupun kalau tepat waktu. Inilah yang kuandalkan, karena tiketnya murah, hanya 34.000 saja, dan sampai di stasiun Senen, jadi bisa langsung dengan mudah mencari transportasi ke tempat tujuanku.
Kali pertama menaiki kereta ini, aku benar benar ketakutan. Waktu itu, adalah kali kedua aku ke Jakarta sendiri. Untungnya ada seorang Bapak, yang sangat membantu, memberikan saran preventif agar tidak beresiko bertemu preman di terminal Senen; jangan keluar terminal sebelum matahari terbit.
Ku iyakan saja, karena resikonya terlihat mengenaskan dalam imajinasiku.
Kali ketiga aku ke Jakarta, adalah untuk wawancara. Dan inilah yang ingin kuceritakan.
Di dalam kereta, yang paling kuingat adalah seorang lelaki yang basah kuyup karena kehujanan waktu diantarkan ke stasiun. Dia dari malang. Tipikal laki laki pekerja keras. Dan kami tidak begitu banyak omong.
Waktu kujalankan "saran preventif" itu, aku bertemu sebuah keluarga. Si bapak, terlihat sudah lumayan renta. Bersama istrinya, anak perempuan dan cucunya. Kami duduk bersebelahan selama beberapa menit, dan si Bapak memulai percakapan. Dan setelah kuceritakan dimana kuliahku, dan untuk apa aku ke Jakarta, raut mukanya agak berubah.
'Saya disini marteg mbak, sudah 10 tahunan. Anak saya, saya sekolahin di sekolah mbak yang dulu ngga sampe lulus, malah hamil dulu.
Belum selesai beliau mengutarakan kalimatnya, cucu laki - lakinya merengek meminta kopi. Dan di turuti saja. Sang istri, tidur terlentang di salah satu kursi di barisan depan. Sang anak perempuan sedang membersihkan muka dan merias wajahnya di wastafel tak jauh dari tempat kami duduk.
Anak perempuannya kembali ke tempat duduk, tepat di depan kami. Melihat ibunya kembali, anak laki - laki tersebut berlari mendekati ibunya, minta dikeloni, karena mengantuk. Kukira, perempuan itu akan mendekap anaknya dan menidurkannya, akan tetapi dia berteriak kepada Bapaknya; "Pak, iki lo putumu".
Cucu dari ayahnya, yang merupakan anaknya sendiri. Melihat kisaran umur perempuan itu, baru tersadar bahwa dialah putri yang diceritakan si Bapak warteg ini. yang hamil duluan. Masuk akal kalau melihat angkatan kuliah dia, tahun dia keluar dan umur anaknya.
Tanpa mengatakan sepatah katapun, laki - laki tua itu mendekati cucunya, menggendongnya dan menemaninya tidur di bangku sebelah kanan kami. Sambil terantuk - antuk, karena waktu itu pukul 3 pagi, dia menjaga cucunya sampai tertidur. Pemandangan yang lumayan aneh bagiku.
Cinta ibu memang tak terkira besarnya, akan tetapi kebesaran hati lelaki, terkadang tidak bisa kita mengerti.
Comments
Post a Comment
Pesan, masukan silahkan kirim ke riammar@ymail.com dengan nama dan identitas yang jelas.